Oh hai, maaf suara agak serak,
lagi batuk, badan kurang enak, mata perih, hidung mampet. Kemaren hari minggu
baru balik dari liburan sepekan di Bukittinggi. Sepanjang perjalanan berasa
meriang, tambah lagi hujan rintik rintik mulai dari Lembah Anai sampai Lubuak
Alung. Ah, ternyata parasetamol generik yang kemahalan dibeliin keponakan tadi
ini “onset of action” yang lama. Udah satu jam masih belum terasa khasiatnya.
Dalam perjalan hanya diam, tak
bicara sedikitpun bahkan untuk beramah tamah dengan sopir travelpun tak sempat,
sibuk mengontrol kondisi tubuh agar tak tumbang sampai di Padang. Headset
terpasang di kuping, Dami Im semangat sekali menyanyikan “gladiator”, sesekali Banda
Neira ikut meningkahi dengan akustikan sederhana namun menyenangkan telinga.
Ada juga Family of The Year dengan Hero… Syahdu.
Aku menyukai setiap perjalanan,
bahkan untuk perjalanan yang keseribukali sekalipun, mataku akan tetap terjaga,
sibuk melihat papan penunjuk jalan, melirik pasar pinggir jalan penyebab macet,
melihat sungai berpadu mesra dengan hijaunya lembah. Aku terpesona.
Tapi ada yang berbeda. Kali ini
pesona negeriku tak seperti biasa, ada kabut yang menghalanginya. Pandanganku
hanya terhenti sekitar limaratus meter, setelah itu semuanya sama, berbingkai
asap putih keabuan.
Masih terbatuk batuk, aku tetap
memandangi arah barat dan timur yang seharusnya kulihat Gunung Marapi dan
Gunung Singgalang berhadapan, saling sapa, saling bercengkrama tentang tingkah
polah pendaki atau kadang saling memamerkan siapa yang paling banyak
pengunjungnya. Koto Baru memang punya magnet tersendiri bagiku. Belum lagi
tetangganya, Pandai Sikek yang masuk
bucketlist 2015, pengen liat tenunan kebanggaan Sumatera Barat yang ada di uang
limaribuan. InsyaAllah akhir bulan ini, aku aminkan dalam hati.
Lain lagi pesona air terjun
Lembah Anai, tepat di pinggir jalan Silaiang, menghipnotis semua mata agar
memandangnya. Selalu ramai, bahkan ada yang berenti di seberang pagar pembatas
pinggir jalan hanya untuk merasakan percikan airnya. Sayang kabut mulai
menganggu keelokan pemandangannya.
Aku coba pakai masker, tapi
kurang nyaman. Jadi ingat komentar teman yang juga gak bisa pake masker.
Katanya pakai masker sama aja ngebunuh pelan pelan, “Mati dek angok awak surang
lebih menyedihkan, dak bisa nyalahan Pak Presiden do”. Kemaren lelucon
sederhana ini bisa buat terpingkal pingkal, dan sekarang sudah mengerti rasa
kurangnyaman itu ditambahlagi ini flu batuk gak berenti berenti. Kayaknya batuk
ini ulah kabut asap. Soalnya kabut di Bukittinggi jauh lebih parah daripada di
Padang. Padahal sudah hujan tiap hari, kabutnya tetap berasa dekat, jam 10 pagi
berasa jam 6 subuh. Menyebalkan.
Pertanyaan yang bernada pasrah
ini selalu aku tanyakan. Sampai kapan? Sampai kapan pengap begini? Kangen
banget sama langit biru, rindu sama sunset di Pantai, kangen ngerimba, kangen hijaunya alam
Sumatera Barat, rindu ketinggian agar bisa memandang bukit barisan di
kejauahan.
Mau mengadu sama siapa? Pak
Presiden lagi? Pak Menteri? Tanggapannya lama, mungkin asap belum sampai ke
Istana. Kepada pembakar hutan? Mereka cuma punya korek api saja.
Bencana ini bukan hal baru, tapi
belajar dari masa lalu, kenapa selalu terulang. Semacam sudah jadi jadwal rutin
buat mengasapi nyamuk nyamuk yang mulai berkembang ganas. Kami di fogging.
Kemudian mati. Tamat.
Epilog:
Kepada
siapapun yang merasa bertanggung jawab atas bencana ini. Bertindaklah secepat
api membakar lahan lahan kering. Secepat bara dalam lahan gambut menyala lagi
tertiup angin. Selamatkan paru paru dunia, paru paru bangsa ini, paru paru
kami, anak bangsa. Selamatkan otak kami yang mulai kekurangan oksigen.