Hello Strangers

Minggu, 18 Oktober 2015

Negeriku, pesonamu hilang terhalang kabut.

Oh hai, maaf suara agak serak, lagi batuk, badan kurang enak, mata perih, hidung mampet. Kemaren hari minggu baru balik dari liburan sepekan di Bukittinggi. Sepanjang perjalanan berasa meriang, tambah lagi hujan rintik rintik mulai dari Lembah Anai sampai Lubuak Alung. Ah, ternyata parasetamol generik yang kemahalan dibeliin keponakan tadi ini “onset of action” yang lama. Udah satu jam masih belum terasa khasiatnya.

Dalam perjalan hanya diam, tak bicara sedikitpun bahkan untuk beramah tamah dengan sopir travelpun tak sempat, sibuk mengontrol kondisi tubuh agar tak tumbang sampai di Padang. Headset terpasang di kuping, Dami Im semangat sekali menyanyikan “gladiator”, sesekali Banda Neira ikut meningkahi dengan akustikan sederhana namun menyenangkan telinga. Ada juga Family of The Year dengan Hero…  Syahdu.

Aku menyukai setiap perjalanan, bahkan untuk perjalanan yang keseribukali sekalipun, mataku akan tetap terjaga, sibuk melihat papan penunjuk jalan, melirik pasar pinggir jalan penyebab macet, melihat sungai berpadu mesra dengan hijaunya lembah. Aku terpesona.

Tapi ada yang berbeda. Kali ini pesona negeriku tak seperti biasa, ada kabut yang menghalanginya. Pandanganku hanya terhenti sekitar limaratus meter, setelah itu semuanya sama, berbingkai asap putih keabuan.

Masih terbatuk batuk, aku tetap memandangi arah barat dan timur yang seharusnya kulihat Gunung Marapi dan Gunung Singgalang berhadapan, saling sapa, saling bercengkrama tentang tingkah polah pendaki atau kadang saling memamerkan siapa yang paling banyak pengunjungnya. Koto Baru memang punya magnet tersendiri bagiku. Belum lagi tetangganya, Pandai Sikek yang  masuk bucketlist 2015, pengen liat tenunan kebanggaan Sumatera Barat yang ada di uang limaribuan. InsyaAllah akhir bulan ini, aku aminkan dalam hati.
Lain lagi pesona air terjun Lembah Anai, tepat di pinggir jalan Silaiang, menghipnotis semua mata agar memandangnya. Selalu ramai, bahkan ada yang berenti di seberang pagar pembatas pinggir jalan hanya untuk merasakan percikan airnya. Sayang kabut mulai menganggu keelokan pemandangannya.

Aku coba pakai masker, tapi kurang nyaman. Jadi ingat komentar teman yang juga gak bisa pake masker. Katanya pakai masker sama aja ngebunuh pelan pelan, “Mati dek angok awak surang lebih menyedihkan, dak bisa nyalahan Pak Presiden do”. Kemaren lelucon sederhana ini bisa buat terpingkal pingkal, dan sekarang sudah mengerti rasa kurangnyaman itu ditambahlagi ini flu batuk gak berenti berenti. Kayaknya batuk ini ulah kabut asap. Soalnya kabut di Bukittinggi jauh lebih parah daripada di Padang. Padahal sudah hujan tiap hari, kabutnya tetap berasa dekat, jam 10 pagi berasa jam 6 subuh. Menyebalkan.

Pertanyaan yang bernada pasrah ini selalu aku tanyakan. Sampai kapan? Sampai kapan pengap begini? Kangen banget sama langit biru, rindu sama sunset di Pantai,  kangen ngerimba, kangen hijaunya alam Sumatera Barat, rindu ketinggian agar bisa memandang bukit barisan di kejauahan.
Mau mengadu sama siapa? Pak Presiden lagi? Pak Menteri? Tanggapannya lama, mungkin asap belum sampai ke Istana. Kepada pembakar hutan? Mereka cuma punya korek api saja.

Bencana ini bukan hal baru, tapi belajar dari masa lalu, kenapa selalu terulang. Semacam sudah jadi jadwal rutin buat mengasapi nyamuk nyamuk yang mulai berkembang ganas. Kami di fogging. Kemudian mati. Tamat.

Epilog:
   Kepada siapapun yang merasa bertanggung jawab atas bencana ini. Bertindaklah secepat api membakar lahan lahan kering. Secepat bara dalam lahan gambut menyala lagi tertiup angin. Selamatkan paru paru dunia, paru paru bangsa ini, paru paru kami, anak bangsa. Selamatkan otak kami yang mulai kekurangan oksigen.